Posted by: nyomnyom | March 18, 2015

My biggest challenge

1426657591402

Saya rasa tak ada satupun orangtua didunia ini yang menginginkan anaknya divonis dengan spektrum autisme. Meskipun sebelumnya sudah pernah membaca mengenai jumlah anak yang didiagnosa autis kian meningkat, tak pernah sebersit pun melintas dibenak saya nantinya akan bergumul dengan anak special seperti itu.

Ketika saya dan suami mulai mencurigai Arung memiliki ciri-ciri anak autis, perasaan kami mulai tak enak. Saya sungguh mengerti kegelisahan suami saya yang tentunya memimpikan bermain bola bersama Arung namun hingga usianya menginjak 4 tahun ia tak juga mengerti bila diajak bermain. Bahkan untuk sekedar mengajak Arung ke suatu tempat pun butuh kesabaran dan perhatian yang besar karena dia terkadang tantrum dan tak bisa membaur bersama anak sebayanya.

Hasil assessment dari beberapa ahli membuat kami segera tersadar bahwa masa depan Arung ada ditangan kami berdua. Tak ada waktu untuk penyesalan dan menangisi keadaan meskipun pada awalnya perselisihan mengenai metode terbaik yang akan diberikan ke anak cukup mewarnai rumah tangga kami. Kami harus segera mulai belajar dari awal dan bekerja sama lebih baik lagi. Kompromi dan kesabaran sangat diperlukan dalam mendampingi proses terapi Arung.

Saya teringat beberapa hari setelah mendapat diagnosa itu. Saya menangis dan menangis setiap saat. Bukan, saya bukannya menangisi nasib mendapat anak dengan gangguan autis. Saya pun tak menangis karena merasa mendapat cobaan yang berat dari Sang Pencipta. Saya juga tak memikirkan apa kata orang nantinya karena saya punya suami dan keluarga yang hebat yang akan mendukung. Saya menangis karena sungguh berharap saya dan suami bisa diberikan umur yang panjang agar bisa menemani Arung hingga ia bisa hidup mandiri kelak. Indonesia bukanlah negara maju yang bisa memberikan fasilitas layak bagi seorang anak berkebutuhan khusus (ABK). Jika kami tak ada, siapa yang akan merawat Arung? Kami saja sebagai orangtua terkadang kerepotan dan kebingungan, apalagi orang lain. Tiba-tiba saya takut mati cepat.

Mendapat anugrah anak dengan gangguan spektrum autis membuat saya belajar banyak. Tadinya saya sempat iri (dan cukup sebal) dengan beberapa kawan yang senantiasa mengupdate status sosmednya dengan cerita-cerita atau kata-kata dari anaknya yang tentunya ditambahkan dengan komen-komen dari teman lainnya seperti ” wah, pintar sekali anakmu “, ” memang anak pintar, siapa dulu dong ibunya “, dan berbagai kalimat-kalimat yang sungguh membuat saya (dan mungkin orangtua dengan ABK lainnya) merasa terintimidasi. Belum lagi tatapan heran, iba, kasihan dan juga aneh dari orang lain ketika anak mulai tantrum tak jelas di tengah keramaian membuat kami harus sering-sering tersenyum dan meminta pengertian dari mereka.

Syukurnya, saya dididik untuk tidak mudah menyerah. Menjadi orangtua dengan anak autis memang tak mudah, bahkan mungkin tiga kali harus lebih gigih berusaha daripada orangtua lainnya. Bahkan tak jarang ada orangtua yang berpisah dan bercerai karena tak mampu menghadapi tantangan ini. Ya, saya menyebutnya bukan sebagai cobaan tetapi sebagai tantangan. Ini adalah tantangan yang sungguh membuat saya dan suami belajar banyak hal. Kami belajar untuk melupakan ego dan mulai bekerja sama memberikan yang terbaik untuk perkembangan Arung. Kami belajar untuk bersabar dan tak boleh lelah mencoba berbagai metode yang telah kami baca. Kami belajar untuk selalu mengutamakan keluarga diatas segalanya.  Kami belajar untuk tidak membanding-bandingkan. Kami belajar untuk mempercayai diri kami bahwa kami adalah orangtua yang baik. Kami belajar untuk menyukuri setiap kata yang keluar dari mulut anak kami. Kami belajar untuk menikmati setiap momen kebersamaan kami. Kami belajar untuk menerima, bersyukur bahkan untuk hal-hal sepele dalam hidup dan saling menguatkan satu sama lain.

1426658021053

Ketika suatu waktu suami mengirimkan pesan ke WhatsApp kalau Arung memanggil terapisnya dengan panggilannya “bu Iin”, saya dan teman sekantor langsung lompat-lompat kegirangan. Saya menangis terisak karena bahagia. Mungkin bagi orangtua lain dengan anak yang biasa-biasa saja, ini bukanlah hal yang perlu dirayakan. Bagi mereka mungkin begitu berlebihan sampai menangis segala. Tapi bagi orang yang tahu bahwa butuh waktu yang lama, bahkan berbulan-bulan bagi seorang anak autis non verbal untuk bisa mengeluarkan satu kata, pastinya akan ikut menangis bersama dan merayakannya. Meski hasil penelitian mengatakan bahwa tak semua anak autis akhirnya bisa bicara nantinya setelah diterapi, tetapi setiap kata yang berhasil diucapkan dengan benar meskipun masih terbata-bata adalah sebuah kemajuan yang besar bagi kami. Sesuatu yang patut dirayakan dan sungguh disyukuri. Beruntung kami juga mendapat banyak kawan baru sesama orangtua dengan ABK dan mereka yang peduli dengan autisme sehingga kami merasa tak sendirian berjuang.

Memang masih banyak orangtua yang belum bisa menerima dan mengakui kalau anaknya memiliki kebutuhan khusus. Tak jarang pula yang membawa anaknya ke terapis tetapi belum bisa terbuka dengan khalayak umum. Itu juga adalah pilihan. Sepanjang mereka masih terus berusaha dan memberikan yang terbaik untuk si anak, tak ada alasan buat orang lain menilai jelek si orangtua. Sometimes what challenge you most, teach you the best.. Setiap orang memiliki perjuangannya masing-masing. Tantangan terbesar yang diterima biasanya justru mengajarkan paling baik tentang kehidupan. Pilihan ditangan kita. Meratapi nasib dan menyerah atau menerima dan gigih berusaha. Saya sendiri tak berhenti mencari tahu dan belajar dari mana saja dan siapa saja. Senyum dan pelukan hangat Arung adalah bayaran setimpal yang membuat semangat saya dan suami tak surut meski butuh waktu (yang kami pun tak tahu hingga kapan) untuk dia bisa mandiri. Semoga Tuhan memberikan umur panjang buat kami bisa melihat Arung berhasil melalui tantangannya.


Responses

  1. tetap semangat untuk ibunya arung .. 🙂


Leave a reply to GADIS Cancel reply

Categories